Senioritas
yang berujung perundungan (bullying) masih terjadi di kalangan pelajar ataupun
mahasiswa di Indonesia. Seolah hal itu telah menjadi tradisi turun-temurun dari
dulu dan sulit untuk dihapuskan. Banyaknya kasus yang terjadi akibat senioritas
ataupun perundungan menjadi cerminan bahwa karakter pelajar belum sepenuhnya
terbentuk. Perundungan adalah kata serapan bahasa Indonesia untuk menggantikan
kata bullying yaitu tindakan kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk
menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain. Selain emosional, tiga jenis
perundungan lainnya adalah fisik, verbal, dan cyber.
Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sedikitnya 1.850 kasus kekerasan
(bullying) yang terjadi, baik dilingkungan sekolah ataupun di luar sekolah. Data
dari klaster (pengelompokan kasus) dalam lingkungan pendidikan dari KPAI untuk
anak korban kekerasan sekolah yang menerima kekerasan fisik dan psikologi, pada
tahun 2011 terdapat 56 kasus, 2012 terdapat 130 kasus, 2013 terdapat 96 kasus,
2014 terdapat 159 kasus, dan 2015 ada 55 kasus. Kemudian anak pelaku kekerasan
di sekolah yang terdata KPAI , pada 2011 ada 48 kasus, 2012 ada 66 kasus, 2013
terdapat 63 kasus, 2014 ada 67 kasus, dan 2015 sampai saat ini baru 39 kasus.
(dilansir dari media daring Harian Nasional (22/15) )
Baru-baru
ini, dunia pendidikan kita digegerkan dengan meninggalnya tiga mahasiswa
Universitas Islam Indonseia (UII) saat mengikuti kegiatan pecinta alam (Mapala)
di kampusnya. Meninggalnya ketiga mahasiswa tersebut diakibatkan kekerasan fisik
yang dilakukan oleh seniornya. Kemudian, kasus seorang mahasiswa Sekolah Tinggi
Ilmu Pelayaran yang meninggal dunia akibat kekerasan yang dilakukan oleh
seniornya.
Kedua
kasus tersebut bukanlah hal baru yang terjadi karena ulah senior. Kasus semacam
itu sering mewarnai dunia pendidikan di Indonesia dan kasus tersebut sudah
masuk pada kategori perundungan tingkat berat. Kurangnya pengawasan dari pihak
lembaga pendidikan dan kurangnya pendidikan moral guna menentukan baik buruknya
karakter menjadi salah satu faktor yang dapat membentuk perilaku perundungan.
Kondisi
semacam ini menjadi sebuah ironi karena seyogyanya mahasiswa sendiri adalah
kelompok intelektual. Seharusnya lebih mengerti bagaimana cara memperlakukan
juniornya dengan cara yang intelek yaitu tanpa adanya kekerasan. Doktrinasi
atau penanaman nilai-nilai bergaya militer juga bisa dilakukan, namun dengan
batasan dan standar yang jelas. Pendidikan militer pun memiliki batasan dan
Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas dalam menanamkan nilai-nilai pada
anggotanya.
Senioritas
sendiri masih menjadi pro dan kontra di dalam dunia pendidikan. Tetapi masih
banyak orang yang kontra mengenai senioritas. Jika senioritas masih berujung
pada perundungan, lalu apa manfaat yang dapat kita ambil? Hal yang
ingin disampaikan di balik senioritas itu sebenarnya mereka ingin mendidik
juniornya supaya mengetahui dan mematuhi peraturan yang dibuat, dan mereka
dapat menghormati dan menghargai orang yang lebih tua. Namun, terkadang cara
penyampaian yang digunakan salah, mungkin sebagai contoh dengan cara kekerasan
atau ancaman, sehingga junior merasa tertekan dan takut dengan ancaman dan
mereka akan terpaksa tunduk dengan perintah yang diberikan seniornya.
Jika
senioritas terus-menerus disalahgunakan, hal ini tentu akan berdampak buruk.
Baik untuk junior atupun citra seorang senior sendiri. Banyaknya kasus
kekerasan yang menimpa peserta didik baru melalui orientasi mahasiswa atau yang
lebih dikenal dengan “ospek”. Mereka akan berasumsi jika ospek yang akan mereka
ikuti penuh dengan tantangan, senior yang garang, dan properti ospek yang
membingungkan. Hal ini justru mencoreng citra senior itu sendiri.
Tak
hanya itu, jika senioritas yang dilakukan dengan cara yang salah masih rutin
dilakukan, maka tentu hal itu akan menjadi tradisi turun temurun. Menjadi hal
yang selalu dilakukan setiap ajaran baru. Para junior yang dulu diperlakukan
dengan tidak baik akan mengulang apa yang terjadi pada mereka terhadap pelajar
baru. Tradisi balas dendam ini menjadi hal yang transparan. Pada akhirnya
senioritas hanya melahirkan generasi yang bermental apatis dan tak punya
pendirian.
Disisi lain, pendidikan karakter
sangat diperlukan tak hanya di sekolah saja, namun di keluarga ataupun
lingkungan. Hal tersebut memiliki peran yang penting guna membentuk karakter
bangsa yang baik, dengan harapan karakter anak bangsa terhindar dari perilaku
perundungan (bullying) ataupun tindakan kekerasan lain. Pasal 1 Undang-undang
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tahun 2003 menyatakan bahwa di
antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik
untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.Pada dasarnya, individu
yang mempunyai karakter baik dapat membuat keputusan serta siap untuk
bertanggung jawab atas akibatnya. Pendidikan karakter sendiri adalah pendidikan
nilai, budi pekerti, moral dan pendidikan watak dengan tujuan mengembangkan
kemampuan seluruh warga sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar