Cari Blog Ini

Minggu, 17 Februari 2019

SENIORITAS DAN PERUNDUNGAN


Senioritas yang berujung perundungan (bullying) masih terjadi di kalangan pelajar ataupun mahasiswa di Indonesia. Seolah hal itu telah menjadi tradisi turun-temurun dari dulu dan sulit untuk dihapuskan. Banyaknya kasus yang terjadi akibat senioritas ataupun perundungan menjadi cerminan bahwa karakter pelajar belum sepenuhnya terbentuk. Perundungan adalah kata serapan bahasa Indonesia untuk menggantikan kata bullying yaitu tindakan  kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain. Selain emosional, tiga jenis perundungan lainnya adalah fisik, verbal, dan cyber.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sedikitnya 1.850 kasus kekerasan (bullying) yang terjadi, baik dilingkungan sekolah ataupun di luar sekolah. Data dari klaster (pengelompokan kasus) dalam lingkungan pendidikan dari KPAI untuk anak korban kekerasan sekolah yang menerima kekerasan fisik dan psikologi, pada tahun 2011 terdapat 56 kasus, 2012 terdapat 130 kasus, 2013 terdapat 96 kasus, 2014 terdapat 159 kasus, dan 2015 ada 55 kasus. Kemudian anak pelaku kekerasan di sekolah yang terdata KPAI , pada 2011 ada 48 kasus, 2012 ada 66 kasus, 2013 terdapat 63 kasus, 2014 ada 67 kasus, dan 2015 sampai saat ini baru 39 kasus. (dilansir dari media daring Harian Nasional (22/15) )
Baru-baru ini, dunia pendidikan kita digegerkan dengan meninggalnya tiga mahasiswa Universitas Islam Indonseia (UII) saat mengikuti kegiatan pecinta alam (Mapala) di kampusnya. Meninggalnya ketiga mahasiswa tersebut diakibatkan kekerasan fisik yang dilakukan oleh seniornya. Kemudian, kasus seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran yang meninggal dunia akibat kekerasan yang dilakukan oleh seniornya.
Kedua kasus tersebut bukanlah hal baru yang terjadi karena ulah senior. Kasus semacam itu sering mewarnai dunia pendidikan di Indonesia dan kasus tersebut sudah masuk pada kategori perundungan tingkat berat. Kurangnya pengawasan dari pihak lembaga pendidikan dan kurangnya pendidikan moral guna menentukan baik buruknya karakter menjadi salah satu faktor yang dapat membentuk perilaku perundungan.
Kondisi semacam ini menjadi sebuah ironi karena seyogyanya mahasiswa sendiri adalah kelompok intelektual. Seharusnya lebih mengerti bagaimana cara memperlakukan juniornya dengan cara yang intelek yaitu tanpa adanya kekerasan. Doktrinasi atau penanaman nilai-nilai bergaya militer juga bisa dilakukan, namun dengan batasan dan standar yang jelas. Pendidikan militer pun memiliki batasan dan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas dalam menanamkan nilai-nilai pada anggotanya.
Senioritas sendiri masih menjadi pro dan kontra di dalam dunia pendidikan. Tetapi masih banyak orang yang kontra mengenai senioritas. Jika senioritas masih berujung pada perundungan, lalu apa manfaat yang dapat kita ambil? Hal yang ingin disampaikan di balik senioritas itu sebenarnya mereka ingin mendidik juniornya supaya mengetahui dan mematuhi peraturan yang dibuat, dan mereka dapat menghormati dan menghargai orang yang lebih tua. Namun, terkadang cara penyampaian yang digunakan salah, mungkin sebagai contoh dengan cara kekerasan atau ancaman, sehingga junior merasa tertekan dan takut dengan ancaman dan mereka akan terpaksa tunduk dengan perintah yang diberikan seniornya.
Jika senioritas terus-menerus disalahgunakan, hal ini tentu akan berdampak buruk. Baik untuk junior atupun citra seorang senior sendiri. Banyaknya kasus kekerasan yang menimpa peserta didik baru melalui orientasi mahasiswa atau yang lebih dikenal dengan “ospek”. Mereka akan berasumsi jika ospek yang akan mereka ikuti penuh dengan tantangan, senior yang garang, dan properti ospek yang membingungkan. Hal ini justru mencoreng citra senior itu sendiri.
Tak hanya itu, jika senioritas yang dilakukan dengan cara yang salah masih rutin dilakukan, maka tentu hal itu akan menjadi tradisi turun temurun. Menjadi hal yang selalu dilakukan setiap ajaran baru. Para junior yang dulu diperlakukan dengan tidak baik akan mengulang apa yang terjadi pada mereka terhadap pelajar baru. Tradisi balas dendam ini menjadi hal yang transparan. Pada akhirnya senioritas hanya melahirkan generasi yang bermental apatis dan tak punya pendirian.
            Disisi lain, pendidikan karakter sangat diperlukan tak hanya di sekolah saja, namun di keluarga ataupun lingkungan. Hal tersebut memiliki peran yang penting guna membentuk karakter bangsa yang baik, dengan harapan karakter anak bangsa terhindar dari perilaku perundungan (bullying) ataupun tindakan kekerasan lain. Pasal 1 Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.Pada dasarnya, individu yang mempunyai karakter baik dapat membuat keputusan serta siap untuk bertanggung jawab atas akibatnya. Pendidikan karakter sendiri adalah pendidikan nilai, budi pekerti, moral dan pendidikan watak dengan tujuan mengembangkan kemampuan seluruh warga sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KALIMAT BERAKHIRAN -I DAN BERAKHIRAN -KAN PADA TEKS PROSEDUR

 Berikut ini beberapa kalimat berakhiran -i dan berakhiran -kan.  1. Lumuri daging dengan mentega.  2. Lumurkan mentega pada daging. 3. Oles...